CHATBOX

Free Image Hosting at www.ImageShack.us

QuickPost Quickpost this image to Myspace, Digg, Facebook, and others!
Get your own Chat Box! Go Large!
Indonesian Radio Online
http://www.focus.co.id/images/yahoo-icon.png

04 Februari, 2009

Nasionalisme

Nasionalisme
Makna nasionalisme yang kita bangga-banggakan selama ini, mulai melemah. Apa yang telah diperjuangkan lima dasawarsa yang lalu hanya menjadi tak lebih dari sekedar sejarah saja. Tiada perjuangan untuk mempertahankan apa yang telah dicapai. Seperti hanya sebuah penyelesaian tugas saja, tiada pemahaman mendalam, penjiwaan tentang tanah air. Seketika nasionalisme hanya menjadi kata-kata di bibir saja.

Demokrasi yang menjadi titik tolak negara untuk mencapai tujuan hanyalah sekedar embel-embel saja. Lebih diperjelasnya Demokrasi Pancasila. Sedangkan Pancasila sebagai dasar negara untuk bergerak telah disalahpahami dengan mengubahnya menjadi sebagai ideologi. Ideologi mengutip dari kata-kata Karl Marx adalah alat kekuasaan. Hal yang dapat menimbulkan hegemoni politik.

Ingatan kita dapat kembali menelusuri masa lampau, saat terjadi konflik “laten” antara Manifesto kebudayaan dan Manifesto politik. Dasawarsa 1960-an menyaksikan betapa persinggungan ekstrem antar-ideologi telah menghantarkan suatu pertarungan sengit. Yang menimbulkan sebuah luka sejarah yang teramat dalam. Polarisasi antara dua elemen, Manikebu dan Manipol memicu realitas buram yang berlanjut pada wilayah “kekuasaan” sebuah entitas yang tak berdiri sendiri: di atas kepentingan politislah segala keputusan menjadi final, dan seseoarang yang terlibat di dalamnya tak pernah lagi netral.

Di masa itu, bentrok antar-ideologi tak terhindarkan menjadi kewajaran dan kekhawatiran. Tapi, justru di sinilah, ideologi mengambil bentuknya yang paling esesif. Ditunjukkan oleh dua hal. Pertama, ketika ideologi mendekati wilayah sentrum kekuasaan, yang terjadi adalah monopoli dan pengucilan atas mereka yang dianggap tak sependapat. Dalam percaturan politik kala itu, potret kekuasaan, dengan dingin ditampilkan oleh Soekarno, dan begitu pula, ideologi seolah tak memberi ampun, menggunakan otoritasnya untuk membungkam komunisme-sosialisme. Catatan politik Iwan Simatupang, dengan getir, mendeskripsikan betapa Soekrano tak lagi menaruh perhatian besar akan terpecahnya masa depan kebudayaan bangsa, di tengah berkecamuknya ancaman revolusi. Ia, ironisnya, kemudian memilih meggunakan kekuasaan untuk sebuah akibat yang tak nyaman: rapresi. Dan kedua, ketika ideologi menjauh dari kekuasaan, dan ujung-ujungnya adalah sikap kontra dan resistensi. Sejarah menunjukkan, inilah yang harus dialami kelompok Manipol di rezim Orba. Goenawan Mohamad, salah seorang eksponen yang terlibat, lalu berkata: di potongan sejarah yang menyakitkan itu, kita temukan sebuah kegamangan, sikap “apokaliptik” yang tidak lagi berbicara menurut akal sehat dan hati nurani, tetapi lebih sebagai frustasi politik yang acak, intoleran, dan menang kalah.

Intoleransi adalah sesuatu yang mustahil abadi. Intoleransi melahirkan radikalisasi, untuk selanjutnya dihadapi dengan reaksi. Radikalisme bukanlah suatu sikap yang bijak. Seperti misalnya, ada yang menyebut bahwa Manikebu “pengkhianat”. Karena mereka memecah kesatuan untuk menghadapi Barat, sehingga “merongrong” Soekarno. Apa yang dituturkan lalu menjadi keniscayaan bahwa kekuasaan selalu dijustifikasi demi sebuah pembelaan. Padahal, kita mesti tahu, bahwa radikalisme atas nama kekuasaan boleh jadi bakal memicu suatu haluan sikap yang di masa kini sulit dimengerti. Karena itu, wajar bila anggapan bahwa mazhab Manikebu menyalahi spirit kebudayaan, sama membingungkannya dengan anggapan, bahwa sebuah kelompok yang berbeda pandangan mesti dihabisi secara radikal, entah lewat pertarungan politis atau semacamnya.

Saya kira, potret radikalisme estetika kiri cukup menghunjam pada dua tataran sekaligus: pada tingkat diskursus dan realitas histori. Pada dataran wacana, radikalisme kiri tercermin dari penolakannya atas humanisme borjuis, yang cuma mengekor selera borjuasi tanpa berani memilah bahwa rakyat juga punya selera. Di sinilah, politik “rasa” (taste) memainkan perannya. Secara kasuistik, upaya Lekra dan sejumlah mazhab estetik kiri di Nusantara untuk menggusur “kaum kontra-revolusionar”, justru dilakukan awal kali melalui perdebatan dan polemic pada tataran wacana. Para pendukung kiri menyerang humanisme universal, karena berdalih bahwa humanisme memiliki latar belakang sosialnya sendiri: ia tak pernah berada dalam dalam integralitas, karena sifatnya partikularistik dan tergantung pada konstruk sosial. Maka, ketika muncul klaim universalisme, serta merta kiri menolak mentah-mentah.

Dari jalur kedua, kiri berhasil menggerakkan sebuah great movement, yang di Indonesia benar-benar menyerupai semacam adegan menegangkan antara pelopor politis dan non politis.

Dapat dilihat, bahwa momen-momen histories antara Manikebu dan Manipol tetap menggurat dalam akar kesadaran kita. Itu artinya, melupakan sejarah adalah sesuatu yang tak mungkin, karena kita selalu terjepit di bawah bayang-bayang ideologi pasar yang acap dehumanistik: kapitalisme. Di saat-saat ini, kemudian kiri menjadi seperti sebuah jalan pintas, suatu tawaran yang bagus untuk memecah kebuntuan sistem mekanis “pasar” yang membuat kita linglung: jangan-jangan pikiran kita sedang digiring untuk mencintai iklan dan mengkonsumsi permen karet, kata Muhammad Al-Fayyadl.

Kiri juga berawal dari sebuah spirit kritisisme pada kekuasaan. Pada tahun 1846, Marx menulis buku German Ideology, dan di sana ia dengan apik mempersoalkan fungsi seni dalam masyarakat yang digerogoti kapitalisme. Kehidupan kapitalistik telah menciptakan sebuah harapan dan pengandaian akan tergapainya modernisme, namun dengan latar belakang industrial yang megah. Tapi masalahnya, kapitalisme juga berandil besar menjebak masyarakat borjuis dalam kenikmatan material, yang menjauhkan mereka dari aktivitas.

Tak ada yang perlu ditakutkan atas kiri. Telah disadari, mewujudkan “kiri” dalam arti sesungguhnya adalah barang langka, setelah ambruknya komunisme di Soviet dan kemunculan “Kiri-Baru” (New Left), yang agak persis dengan gagasan “Post-Marxism”. Sejumlah pemikir paska Lukacs, yang hidup dua puluh tahun kemudian: Theodor W. Adorno, Max Horkheimer, Walter Benjamin, melihat industrialisme sebagai realitas tak terpungkiri.

Menjadi “kiri”, kini, tak lagi seheroik dulu. Dalam dunia yang tergagap dengan sekian kemajuan teknologi yang menakjubkan, manusia seolah disihir untuk berebut secercah kebanggaan dari tangan mesin. Kenyataan bahwa kapitalisme digerakkan tenaga mesin, dengan sendirinya menohok jantung eksistensial umat manusia, yang tak rela dirinya kehilangan jati diri. Karena itu, rasionalitas teknologi yang disokong kapitalisme, kata Herbert Marcuse dalam One-Dimensial Man, hanya menawarkan kebutuhan-kebutuhan palsu (false need), yang ironisnya digemari manusia modern.

Bandul ambiguitas yang melilit dunia kebudayaan kita dalam lima dasawarsa terakhir, memunculkan pertanyaan serius menurut Muhammad al-Fayyadl: benarkah “proyek” nasionalisme kebudayaan yang kita banggakan benar-benar menyentuh aspek kemanusiaan? Padahal, bukankah kemanusiaan (humanity) sebagai asas mendasar dalam kehidupan berbudaya, selama ini dipertaruhkan, diperebutkan, dan dikoyak oleh perpecahan yang terjadi pada masa-masa revolusi itu?

Haruskah saat demokratisasi tengah menjalari kisi-kisi kehidupan sosial-politik dan post-modernisme kini berancang-ancang untuk menuai harapan kita harus menyingkirkan kapitalisme dan mengembangkan budaya marxisme? Sedangkan Dasar Negara kita adalah Pancasila, yang mempunyai sifat ketidakkonsistenannya karena apa yang dianutnya, keekletisannya. Pancasila yang memperjuangkan kemanusiaan, keadilan, tapi juga menganut dan menjunjung tinggi keesaan Tuhan. Menerima dengan tangan terbuka perkembangan, globalisasi yang cenderung teknologis. Pancasila yang sila-silanya saling meliputi dan menjiwai, mendukung komunisme yang mengangkat kemanusiaan, sekaligus menolak komunis-marxisme yang terlalu menjunjung tinggi kemanusiaan, sehingga menyebabkan runtuhnya sebuah Negara. Pancasila juga tidak menolak sekaligus tidak menerima paham komunis yang terlalu materialis.

Hanya saja banyak manusia Indonesia yang tidak mengerti, memahami, menjiwai, menghayati, dan mengamalkan apa-apa yang dianut di dalam sila-sila Pancasila. Maka, Prof. Dr. Damardjati Supadjar mengatakan: Pancasila belum “lahir”. Menurut saya, yang dimaksud oleh beliau adalah bahwa Pancasila sebenarnya telah lahir secara faktawi, tapi Pancasila belum lahir di hati manusia Indonesia, maksudnya: manusia Indonesia belum benar-benar menjiwai Pancasila, belum menghayati sepenuhnya dan mengamalkan apa yang menjadi seharusnya titik tolak perilaku mereka. Pancasila yang seharusnya menjadi pandangan hidup bangsa belum diresapi dengan sungguh-sungguh, sehingga apa yang dicita-citakan bangsa pun masih belum tercapai secara maksimal. Seandainya pun mereka satu tujuan, cita-cita, jika mereka tidak saling memahami, menjiwai, tak kan ada yang bisa dicapai. Karena kunci dari sebuah negara adalah sebuah kesatuan dari rakyatnya, kesamaan rasa satu rasa, senasib. Saat itulah sebuah negara dapat menciprakn sebuah rasa persatuan dan kesatuan yang erat. Tapi, jika sudah ada manusianya yang merasa tidak membutuhkan, kepentingan mereka telah tercapai, cita-cita mereka telah terpenuhi, maka lama-lama hancurlah sebuah negara itu.

Suatu pandangan hidup bangsa, yang mengandung nilai-nilai yang telah terkristalisasi dari sejarah kehidupan social suatu masyarakat maupun suatu bangsa, harus tercermin baik dalam dimensi kehidupan pribadi, dimensi keluarga, maupun dimensi masyarakat. Khususnya di Indonesia, yang masyarakatnya serba majemuk, pandangan hidup masyarakat berproses secara dinamis sehingga mewujudkan pandangan hidup bangsa. Setelah berdirinya Indonesia, pandangan hidup bangsa itu menjadi pandangan hidup negara.

Latar Belakang Munculnya Nasionalisme Indonesia
a.
Contoh Indonesia pernah memiliki kejayaan pada masa Sriwijaya, Mahapahit. Kejayaan menimbulkan harga diri sehingga mereka akan memberontak bila harga diri diganggu.
b.
Contoh Belanda yang menindas dan membelenggu akibatnya timbul perlawanan.

c.
Contoh munculnya golongan cendekiawan sehingga timbul penggerak atau pemimpin pergerakan Nasional.
d.
Kemenangan Jepang atas Rusia 1905 mengakibatkan semangat bangsa Asia terutama Indonesia untuk menentang Imperialisme Barat. Contoh dengan terbentuknya Budi Utomo (1908).
e.
Kekuasaan pribumi pada saat itu terkungkung oleh pengaruh politik imperialis dan kolonial yang sangat kejam sehingga terjadi praktek penyalahgunaan kekuasaan dan pelecehan hak asasi. Dalam bidang ekonomi terjadi eksploitasi ekonomi, dan dalam bidang budaya terjadi pelecehan sehingga bangsa Indonesia berusaha memperjuangkan aspirasi rakyat baik di bidang politik, ekonomi atau pun budaya.
f.
Mayoritas rakyat Indonesia adalah kaum muslim. Dengan jumlah yang demikian besar, ternyata Islam merupakan satu unsur penting untuk menumbuhkan semangat nasionalisme Indonesia.
g
Karena keturunan Cina mendirikan perguruannya sendiri yakni Tionghoa Hwee Kwan (1901) sehingga bangsa bangkit. Para pedagang pribumi mendirikan SDI (1911) atau Serikat Dagang Islam.






A. PEMBAHASAN
a. Nasionalisme
Pengertian nasionalisme, merupakan perpaduan atau sinergi dari rasa kebangsaan dan paham kebangsaan. Kondisi nasionalisme suatu bangsa akan terpancar dari kualitas dan ketangguhan bangsa tersebut dalam menghadapi berbagai ancaman. Sebagai contoh, kita lihat beberapa negara dunia ketiga atau negara berkembang yang terkena sanksi embargo dari Dewan Keamanan PBB, nyatanya mereka sampai sekarang masih tetap bertahan dan mampu hidup, karena bangsa tersebut memiliki nasionalisme yang mantap.
Berbicara Nasionalisme, kita tidak boleh lepas dari sejarah bangsa, antara lain Peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya dan Peristiwa 15 Desember 1945 di Ambarawa, dimana Nasionalisme diwujudkan dalam semboyan “Merdeka atau Mati”. Nasionalisme merupakan motivasi untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila sebagai dasar negaranya.
Dengan Nasionalisme yang tinggi, kekhawatiran akan terjadinya ancaman terhadap keutuhan dan kesatuan bangsa akan dapat dielakkan. Dari Nasionalisme akan mengalir rasa kesetiakawanan sosial, semangat rela berkorban dan dapat menumbuhkan jiwa patriotisme. Ketiga hal tersebut satu sama lain berkaitan dan saling mempengaruhi.
b. Indonesia Raya
Indonesia Raya adalah sebuah lagu yang diciptakan oleh Wage Rudolf Soepratman yang pertama kali dinyanyikan pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam sebuah acara yang dinamakan sumpah pemuda yang dijadikan sebuah lagu kebangsaan Negara Indonesia.
Setelah dikumandangkan tahun 1928, pemerintah kolonial Hindia Belanda segera melarang penyebutan lagu kebangsaan bagi Indonesia Raya. Mungkin, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jonkheer de Graeff ketika itu mengatakan, “Untuk apa ada lagu kebangsaan bagi sebuah bangsa yang toh tidak ada?”
Belanda, yang gentar dengan konsep kebangsaan Indonesia, dan dengan bersenjatakan politik divide et impera, lebih suka menyebut bangsa Jawa, bangsa Sunda, atau bangsa Sumatera, melarang penggunaan kata “Merdeka, Merdeka!”
Meskipun demikian, para pemuda tidak gentar. Mereka ikuti lagu itu dengan mengucapkan “Mulia, Mulia!”, bukan “Merdeka, Merdeka!” pada refrein. Akan tetapi, tetap saja mereka menganggap lagu itu sebagai lagu kebangsaan.
Indonesia Raya, dari susunan liriknya, merupakan soneta-atau sajak 14 baris yang terdiri dari satu oktaf (atau dua kuatren) dan satu sekstet. Penggunaan bentuk ini dilihat sebagai “mendahului zaman” (avant garde), meskipun soneta sendiri sudah populer di Eropa semenjak era Renaisans. Rupanya penggunaan soneta tersebut mengilhami karena lima tahun setelah Indonesia Raya dikumandangkan, para seniman Angkatan Pujangga Baru mulai banyak menggunakan soneta sebagai bentuk ekspresi puitis.
Lirik Indonesia Raya merupakan seloka atau pantun berangkai, menyerupai cara empu Walmiki ketika menulis epik Ramayana. Dengan kekuatan liriknya itulah Indonesia Raya segera menjadi seloka sakti pemersatu bangsa, dan dengan semakin dilarang oleh Belanda, semakin kuatlah ia menjadi penyemangat dan perekat bangsa Indonesia.
c. Nasionalisme yang semakin memudar
Kurangnya nasionalisme dan hilangnya spirit kemerdekaan di kalangan generasi penerus bangsa saat ini ternyata membawa dampak atau pengaruh yang cukup besar terhadap keutuhan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) saat ini.
Berbagai pengaruh globalisasi dan informasi dan kurangnya pendidikan fisik terutama di bidang kesejarahan seakan menjadi ancaman serius bagi generasi muda dalam memaknai dan menggelorakan semangat kemerdekaan di dalam jiwa mereka. Sejarahwan Unand, DR Gusti Asnan mengatakan penyebab utama dari memudarnya semangat nasionalisme dan kebangsaan dari generasi penerus bangsa terutama disebabkan contoh yang salah dan kurang mendidik yang diperlihatkan generasi tua atau kaum tua yang cenderung mementingkan kepentingan pribadi dan golongannya daripada mendahulukan kepentingan bangsa dan rakyat.


Mereka seakan larut dalam euforia untuk mensejahterakan diri sendiri tanpa melihat bagaimana fenomena yang terjadi di negara kita saat ini, pengaruh kemiskinan yang sekaligus berimbas kepada kebodohan bangsa belum menjadi perhatian serius dari generasi tua atau para elite-elite politik bangsa ini. Gusti juga mengungkapkan pengaruh perkembangan informasi dan era globalisasi yang mulai merebak di negara kita juga menjadi momok yang sangat menakutkan bagi generasi muda. Mereka sudah mulai meninggalkan kebudayaan asli Indonesia dan itu diperkuat lagi dengan semangat globalisasi yang begitu kental dan digelorakan oleh pihak luar. Generasi muda seakan telah meninggalkan ciri khas kebangsaan dan mulai terpengaruh dengan budaya-budaya asing yang mulai menunjukkan taji-nya dan sekaligus telah menguasai seluruh aspek kehidupan di negara kita.
d. Indonesia Raya versi 3 stanza ditengah runtuhnya nasionalisme
Akhir-akhir ini kita dihangatkan oleh berita penemuan rekaman asli lagu Indonesia Raya oleh Roy Suryo Notodiprojo, pakar telematika yang menjelajahi perpustakaan Leiden, Belanda, bersama Heru Nugroho dan Tim Air Putih.
Yang membuat kita heran sekaligus senang, ternyata rekaman dalam dalam bentuk film selluloid itu berbeda dengan lagu Indonesia Raya yang kita lantunkan di setiap perayaan kemerdekaan dan upacara lainnya. Durasinya lebih panjang, yaitu tiga stanza bukan hanya satu stanza yang selama ini kita nyanyikan.
Tampaknya hal ini menjadi kado istimewa bagi peringatan HUT RI ke-62 setelah sekian lama kita hanya menyanyikan dokumen versi saduran dari gubahan Wage Rudolf Supratman. Sehingga tekad untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya versi asli pada upacara HUT Proklamasi itu pun mendapatkan dukungan beberapa pihak.
Namun apalah arti kado istimewa itu jika kini masyarakat justru kehilangan rasa kebanggaan terhadap bangsa ini. Penemuan lagu kebangsaan versi asli itu tidak bisa memberikan garansi bangkitnya kembali nasionalisme yang telah runtuh di tengah-tengah carut-marutnya keadaan bangsa.

Tentunya tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa nasionalisme bangsa Indonesia sedikit demi sedikit mulai runtuh. Sebab masih melekat dalam ingatan kita aksi-aksi separatisme beberapa waktu yang lalu. Mulai dari tarian perang (cakalele) oleh jajaran kelompok Republik Maluku Selatan (RMS), aksi pengibaran bendera Papua Merdeka oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), hingga pendirian Partai Gerakan Aceh Merdeka (PGAM).
Roy Suryo menjelaskan, versi asli Indonesia Raya ini berjudul 3 stanza atau 3 qouplet. “Lagu ini 3 kali lebih panjang dari yang kita kenal sekarang. Dan masih berbahasa Indonesia dalam ejaan yang belum disempurnakan,” jelasnya. Roy memaparkan, lagu Indonesia Raya versi pertama itu isinya tidak jauh berbeda dengan yang kita dengarkan saat ini. “Isinya persatuan Indonesia, hubungan manusia Indonesia dengan Tuhannya, dan untuk membersihkan jiwa raganya, serta janji masyarakat Indonesia untuk mempertahankan negara ini,” bebernya.
Menurut Roy, dirinya juga mendapatkan cukup bukti bahwa lagu 3 stanza ini adalah versi asli dari Indonesia Raya. Bahkan di sejumlah dokumen antara 1928-1945 membuktikan bahwa lagu 3 stanza ini pernah digunakan.
“Ternyata setelah 18 Agustus 1945, lagu yang termuat adalah lagu yang ini,” tukas Roy.
Lagu Indonesia Raya yang diklaim versi asli ini pertama kali dipublikasikan oleh surat kabar Sin Po. Adapun liriknya:

Indonesia Tanah Airkoe
Tanah Toempah Darahkoe
Disanalah Akoe Berdiri
Djadi Pandoe Iboekoe
Indonesia Kebangsaankoe
Bangsa dan Tanah Airkoe
Marilah Kita Berseroe
Indonesia Bersatoe


Hidoeplah Tanahkoe
Hidoeplah Negrikoe
Bangsakoe Ra’jatkoe Semw’wanja
Bangoenlah Jiwanja
Bangoenlah Badannja
Oentoek Indonesia Raja

Reff:
Indonesia Raya Merdeka Merdeka
Tanahkoe Negrikoe jang Koetjinta
Indonesia Raja Merdeka Merdeka
Hidoeplah Indonesia Raja
Indonesia Tanah jang Moelia
Tanah Kita jang Kaja
Di Sanalah Akoe Berdiri
Oentoek Slama-lamanja
Indonesia Tanah Poesaka
Poesaka Kita Semoeanja
Marilah Kita Mendo’a
Indonesia Bahagia

Soeboerlah Tanahnja
Soeboerlah Djiwanja
Bangsanja Ra’jatnja Sem’wanja
Sadarlah Hatinja
Sadarlah Boedinja
Oentoek Indonesia Raja



Reff:
Indonesia Tanah Jang Soetji
Tanah Kita Jang Sakti
Di Sanalah Akoe Berdiri
‘Njaga Iboe Sedjati
Indonesia Tanah Berseri
Tanah Jang Akoe Sajangi
Marilah Kita Berdjandji
Indonesia Abadi

Slamatlah Ra’jatnja
Slamatlah Poetranja
Poelaoenja, Laoetnja, Sem’wanja
Madjoelah Negrinja
Madjoelah Pandoenja
Oentoek Indonesia Raja
Tetapi yang aneh, Tim Air Putih malah menyangkal bahwa telah melakukan penelusuran lagu Indonesia Raya di server tersebut. Mereka mengatakan benar telah memiliki file lagu Indonesia Raya versi 3 Stanza yang diungkapkan oleh Roy, tetapi file tersebut bukan diambil dari situs universitas di Belanda. File tersebut diperoleh dari sebuah link di www.marhaenis.org yang menghubungkan link-nya ke YouTube dan dan Multiply. Dari situs inilah mereka mendapatkan file tersebut. Memang benar Roy Suryo pernah mengkopi hardisk salah seorang Tim Air Putih, tetapi tidak benar bahwa Roy telah melakukan penulusuran terhadap lagu Indonesia Raya, apalagi sampai ke server di Belanda.





B. KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
 Nasionalisme merupakan perpaduan atau sinergi dari rasa kebangsaan dan paham kebangsaan
 Kondisi nasionalisme suatu bangsa akan terpancar dari kualitas dan ketangguhan bangsa tersebut dalam menghadapi berbagai ancaman
 Dari Nasionalisme akan mengalir rasa kesetiakawanan sosial, semangat rela berkorban dan dapat menumbuhkan jiwa patriotisme
 Indonesia Raya adalah lagu kebangsaan Negara Indonesia yang diciptakan oleh Wage Rudolf Soepratman yang pertama kali dinyanyikan pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam acara Sumpah Pemuda
 Lagu Indonesia Raya yang merupakan lagu kebangsaan bangsa Indonesia saat ini dipertanyakan keasliannya sejak ditemukanya arsip asli lagu Indonesia Raya versi 3 stanza di Belanda
b. Saran
 Memiliki wawasan kebangsaan sehingga memiliki rasa tanggung jawab untuk menciptakan Ketahanan Nasional diseluruh rakyat Republik Indonesia.
 Berwawasan kebangsaan agar dapat menciptakan dan menumbuhkan cinta tanah air
 Memiliki rasa nasionalisme yang baik untuk mempertahankan bumi Indonesia
 Mengembangkan dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya

1 komentar:

  1. KAMI SEKELUARGA TAK LUPA MENGUCAPKAN PUJI SYUKUR KEPADA ALLAH S,W,T
    dan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor togel.nya yang AKI
    berikan 4 angka [0572] alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus AKI.
    dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
    ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu AKI. insya
    allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
    kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
    sekali lagi makasih banyak ya AKI… bagi saudara yang suka main togel
    yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi KI JAYA WARSITO,,di no (((085-342-064-735)))
    insya allah anda bisa seperti saya…menang togel 970 JUTA , wassalam.


    dijamin 100% jebol saya sudah buktikan...sendiri....







    Apakah anda termasuk dalam kategori di bawah ini !!!!


    1"Dikejar-kejar hutang

    2"Selaluh kalah dalam bermain togel

    3"Barang berharga anda udah habis terjual Buat judi togel


    4"Anda udah kemana-mana tapi tidak menghasilkan solusi yg tepat


    5"Udah banyak Dukun togel yang kamu tempati minta angka jitunya
    tapi tidak ada satupun yang berhasil..







    Solusi yang tepat jangan anda putus asah... KI JAYA WARSITO akan membantu
    anda semua dengan Angka ritual/GHOIB:
    butuh angka togel 2D ,3D, 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin
    100% jebol
    Apabila ada waktu
    silahkan Hub: KI JAYA WARSITO DI NO: [[[085-342-064-735]]]


    ANGKA RITUAL: TOTO/MAGNUM 4D/5D/6D


    ANGKA RITUAL: HONGKONG 2D/3D/4D/



    ANGKA RITUAL; KUDA LARI 2D/3D/4D/



    ANGKA RITUAL; SINGAPUR 2D/3D/4D/



    ANGKA RITUAL; TAIWAN,THAILAND



    ANGKA RITUAL: SIDNEY 2D/3D/4D

    BalasHapus