CHATBOX

Free Image Hosting at www.ImageShack.us

QuickPost Quickpost this image to Myspace, Digg, Facebook, and others!
Get your own Chat Box! Go Large!
Indonesian Radio Online
http://www.focus.co.id/images/yahoo-icon.png

01 Februari, 2009

Budaya Santun

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan dan perkembangan pendidikan sejalan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga perubahan akhlak pada anak sangat dipengaruhi oleh pendidikan formal informal dan non-formal. Penerapan pendidikan akhlak pada anak sebaiknya dilakukan sedini mungkin agar kualitas anak yang berakhlak mulia sebagai bekal khusus bagi dirinya, umumnya bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan agama.
Betapa banyak faktor penyebab terjadinya kenakalan pada anak-anak yang dapat menyeret mereka pada dekadensi moral dan pendidikan yang buruk dalam masyarakat, dan kenyataan kehidupan yang pahit penuh dengan “kegilaan”, betapa banyak sumber kejahatan dan kerusakan yang menyeret mereka dari berbagai sudut dan tempat berpijak.
Oleh karena itu, jika para pendidik tidak dapat memikul tanggung jawab dan amanat yang diberikan pada mereka, dan pula tidak mengetahui faktor-faktor yang dapat menimbulkan kelainan pada anak-anak serta upaya penanggulangannya maka akan terlihat suatu generasi yang bergelimang dosa dan penderitaan dalam masyarakat.




B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas permasalahan dalam tugas makalah ini dirumuskan dalam hal-hal sebagai berikut:
a) Bagaimana bentuk bimbingan Guru dan orang tua dalam membina akhlak terhadap anak sekolah di lingkungan sekolah
b) Sejauh mana pentingnya pembinaan akhlak terhadap anak sekolah di lingkungan C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1) Untuk mengetahui bagaimana Guru dan orang tua dalam membimbing akhlak, pada sekolah di lingkungan sekolah
2) Untuk mengetahui bagaimana pentingnya pembinaan akhlak terhadap sekolah di lingkungan sekolah
D. Metode Dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data ini, dipergunakan teknik pengumpulan data yang diharapkan dapat melengkapi satu sama lain, yaitu dengan menggunakan dokumentasi. Untuk mendapatkan data, penulis menggunakan dokumen, baik yang berwujud arsip-arsip, catatan-catatan kecil, buku-buku dan laporan tertulis lainnya yang berkaitan erat dengan penulisan makalah ini.



BAB II
A. Sopan Santun
a.1. Sopan Santun Itu Telah Hilang. Mari kita Bangun!!
Dulu… Indonesia dikenal sebagai negeri yang ramah. Yang mengatakan bahwa negeri kita ramah bukan hanya tetangga dekat atau tetangga jauh, orang-orang kita sendiripun merasa bangga akan hal itu karena merasakan hal tersebut.
Pada zaman itu, alhamdulillah saya merasakan, dimana orang tua menghargai anak muda dan anak muda sangat menghormati kaum tua. Timbal balik yang membuat harmonisasi hidup begitu damai, indah dan menyejukkan.
a.2. Kenapa hal tersebut terjadi? ada dua alasan yang saya kemukakan.
1. Agama Islam. Agama islam mengajarkan untuk menghargai yang muda dan menghormati yang tua. Di negeri ini mayoritas Islam. Dulu ketika penduduknya masih menjalankan islamnya secara intens maka sopan santun diterapkan dengan sebenar-benarnya karena sopan santun adalah bagian dari islam. Maka karena mayoritas ini menjalankan islamnya dengan betul-betul, akhirnya kita dikenal sebagai negeri yang sopan.
2. Guru dan Tetua Adat. Mereka menjadi orang-orang terdepan yang mengedepankan sistem sopan santun ini. Dengan giat mereka mengajarkan adat sopan santun, di mesjid atau di acara perkumpulan.

Namun di zaman ini, semua mulai kabur, mulai padam, mulai sirna seperti akan menghilang ditelan bumi andai tidak ada perbaikan kembali. Maka oleh karena itu mari kita berpikir bagaimana mengembalikan zaman-zaman keemasan tersebut.
Anda sebagai generasi yang merasakan zaman itu saya ajak berpartisipasi untuk mengembalikan budaya sopan santun. Dimana saat ini, anak muda tidak mengenal yang namanya adat sopan santun.
Anak kecil kemarin sore memanggil pemuda yang jauh umurnya dengan nama tanpa ada embel-embel “abang, mas, aa, dll “. Mereka melakukannya tanpa merasa bersalah.
B. Perilaku
Orang-orang lewat di depan orang yang sedang duduk, boro-boro bilang permisi tersenyumpun sepertinya mahal. Hal ini adalah penyakit! Mari kita cari obatnya.
Padahal sopan santun itu jika digunakan akan mencegah banyak keributan, akan mencegah terjadi pertengkaran dan akan mempererat rasa persaudaraan.
Dulu di sekolah dan tempat mengaji atau diriungan, saya diajarkan oleh guru atau saudara. Kalau lewat di depan orang tua harus membungkuk dan bilang permisi. Pun seandainya kalau lewat di depan orang-orang yang sedang duduk atau kita ingin melewati suatu kumpulan maka kita harus bilang permisi.
Namun sepertinya sekarang pelajaran itu tidak ada lagi. Anak kemarin sore lewat di depan kerumunan orang tidak ada sopan santunnya, lewat begitu saja bagai batang pisang ada raganya namun dingin tidak ada jiwanya. Orang tua cuek dengan keadaan itu karena mereka pun sudah mulai tidak perduli lagi dengan adat sopan santun.
Oleh karena itu mari kita perbaiki budaya sopan santun ini, jika anda orang tua ajarkan kepada anaknya untuk berbuat sopan santun. Karena sopan santun itu tidak mahal, tidak mengeluarkan banyak biaya. Jika anda seorang kakak, ajarkan kepada adiknya untuk berbuat sopan santun karena pastinya anda sayang dengan adik anda. Tentunya jika anda guru, anda WAJIB mengajarkan kepada anak didik anda untuk mengajarkan sopan santun karena sekolah adalah gerbang dari watak seseorang.
Jika anda membaca tulisan ini, silahkan sebarkan kepada seluruh kenalan anda. Mari kita buat negeri ini kembali sebagai negeri ramah. Negeri yang akan banyak mendapat berkah karena keramahan. Kirimkan lewat email atau perbincangkanlah tulisan ini diantara sesama teman.
Hingga saat ini, saya masih terkesan dengan pemikiran-pemikiran (almarhum) Rama Mangunwijaya tentang dunia pendidikan. Pandangan-pandangannya mencerahkan, inklusif, kritis, dan selalu menyadarkan insan-insan pendidikan untuk mengembalikan dunia persekolahan kepada “khittah”-nya sebagai pencerah spiritual. Dalam buku Pasca-Indonesisa, Pasca-Einstein (1999), misalnya, Rama Mangunwijaya pernah bilang bahwa dunia persekolahan kita tidak mengajak anak didik untuk berpikir eksploratif dan kreatif. Seluruh suasana pembelajaran yang dibangun adalah penghafalan, tanpa pengertian yang memadai. Adapun bertanya –apalagi berpikir kritis-praktis– adalah tabu. Siswa tidak dididik, tetapi di-drill, dilatih, ditatar, dibekuk agar menjadi penurut, tidak jauh berbeda dari pelatihan binatang-binatang “pintar dan terampil” dalam sirkus.
Suasana pembelajaran yang “salah urus” semacam itu, demikian Rama Mangunwijaya yang semasa hidupnya akrab dengan lingkungan pendidikan kumuh di bantaran Kali Code Yogyakarta, telah membikin cakrawala berpikir peserta didik menyempit dan mengarah pada sikap-sikap fasisme, bahkan menyuburkan mental penyamun/perompak/penggusur yang menghambat kemajuan bangsa. Erat berhubungan dengan itu, timbullah suatu ketidakwajaran dalam relasi sikap terhadap kebenaran. Mental membual, berbohong, bersemu, berbedak, dan bertopeng, seolah-olah semakin meracuni kehidupan kultural bangsa. Kemunafikan merajalela. Kejujuran dan kewajaran dikalahkan. Keserasian antara yang dikatakan dan yang dikerjakan semakin timpang.
Sikap-sikap fasis yang menafikan keluhuran akal budi, bahkan makin menjauhkan diri dari perilaku hidup yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, tampaknya sudah menjadi fenomena yang mewabah dalam masyarakat kita. Maraknya fenomena dan perilaku anomali semacam itu, disadari atau tidak, merupakan imbas dari sistem pendidikan yang telah gagal dalam membangun generasi yang utuh dan paripurna.
Pertama, selama menuntut ilmu di bangku pendidikan, pelajar yang baik senantiasa dicitrakan sebagai “anak mami” yang selalu mengamini semua komando gurunya. Mereka ditabukan untuk bersikap kritis, berdebat, dan bercurah pikir. Akibatnya, mereka tampak begitu santun di sekolah, tetapi menjadi liar dan bringas di luar tembok sekolah.
Kedua, anak-anak bangsa yang tengah gencar memburu ilmu di bangku pendidikan (hampir) tidak pernah dididik secara serius dalam menumbuhkembangkan ranah emosional dan spiritualnya. Ranah kecerdasan spiritual yang amat penting peranannya dalam melahirkan generasi yang utuh dan paripurna justru dikebiri dan dimarginalkan. Kebijakan dan kurikulum pendidikan kita belum memberikan ruang dan waktu yang cukup berarti untuk memberikan pencerahan spiritual siswa. Yang lebih memprihatinkan, guru sering terjebak pada situasi rutinitas pembelajaran yang kaku, monoton, dan menegangkan lewat sajian materi yang lebih mirip orang berkhotbah, indoktrinasi, dan “membunuh” penalaran siswa yang dikukuhkan lewat dogma-dogma dan mitos-mitos.
b.1. Pendidikan Harus Mamfu Memberikan Pencerahan
Idealnya, pendidikan harus mampu memberikan pencerahan dan katarsis spiritual kepada peserta didik, sehingga mereka mampu bersikap responsif terhadap segala persoalan yang tengah dihadapi masyarakat dan bangsanya. Melalui pencerahan yang berhasil ditimbanya, mereka diharapkan dapat menjadi sosok spiritual yang memiliki apresiasi tinggi terhadap masalah kemanusiaan, kejujuran, demokratisasi, toleransi, dan kedamaian hidup. Kita membutuhkan sosok manusia yang memiliki kecerdasan spiritual yang menciptakan damai di tengah berkecamuknya kebencian, yang menawarkan pengampunan bila terjadi penghinaan.
b.2. Mengembangkan Pendidikan Anak bangsa
Di tengah situasi Indonesia yang masih “silang-sengkarut” akibat krisis multiwajah dan konflik berkepanjangan, sudah saatnya dunia pendidikan benar-benar mengambil peran sebagai pencerah dan katarsis peradaban yang sakit. Kehadirannya harus benar-benar dimaknai secara substansial sebagai “kawah candradimuka” yang menggembleng jutaan anak bangsa menjadi generasi yang utuh dan paripurna; cerdas intelektualnya, cerdas emosionalnya, sekaligus cerdas spiritualnya. Bukan hanya sekadar pelengkap yang selalu disanjung puji sebagai pengembang SDM, tetapi realitasnya hanya menjadi sebuah “Indonesia” yang terpinggirkan.
b.3. model pendidikan berbahasa santun di sekolah

Berikut ini walaupun hanya sebuah abstrak dan kesimpulan makalah yang ditulis tentang fenomena berbahasa para siswa di SMA N I LIMBANGAN, namun diharapkan ada manfaatnya bagi guru-guru, tidak saja guru-guru bahasa tetapi juga guru-guru bidang
lainnya..

C. SATRATEGI MODEL PENGEMBANGAN PENDIDIKAN BERBASIS
AKHLAK BERBAHASA SANTUN DI SEKOLAH

c.1. Mengembalikan Nilai Kesantunan
Tulisan dilatarbelakangi oleh adanya berbagai fenomena berbahasa di kalangan siswa yang telah menanggalkan nilai-nilai kesantunan berbahasa sebagai akibat pergeseran nilai di tengah masyarakat. Atas dasar itu tulisan ini ingin menjawab strategi pendidikan yang bagaimana yang sesuai dengan pengembangan berbahasa santun di sekolah. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengungkapkan strategi pendidikan berbahasa santun di sekolah. Paradigma yang digunakan adalah naturalistik , pendekatan pendekatan kualitatif dengan menggunakan beragam metode (multi methods).


c.2. Perinsif-perinsif Berbahasa Santun
Berdasarkan penelitian, terdapat siswa berbahasa santun dan tidak santun di sekolah, sekolah sementara belum memiliki strategi untuk mengembangkan pendidikan nilai berbahasa. Berdasar penelitian ditemukan enam prinsip berbahasa santun dalam Al Quran, yaitu qaulan sadiria, qaulan ma'rufa, qaulan baligha, qaulan maysura, qaulan karima, dan qaulan layyina. Dari enam prinsip tersebut ditemukan dua puluh enam nilai berbahasa santun yang dapat dijadikan rujukan dalam pendidikan berbahasa santun di sekolah, keluarga, maupun masyarakat. Di samping itu diturunkan strategi-strategi (multi
strategi) dalam pengembangan berbahasa santun di sekolah. Strategi tersebut adalah
langkah-langkah operasional dalam pengelolaan pendidikan berbahasa santun di sekolah, dan pembelajaran berbahasa santun di kelas, menyangkut peran sekolah, guru, siswa,
dan karyawan sekolah yang dapat dijadikan altematif bagi pengembangan berbahasa santun di sekolah.

D. Berbahasa Tepat
Tepatlah bunyi peribahasa, "bahasa menunjukkan bangsa". Bagaimanakah sebenarnya tingkat peradaban dan jati diri bangsa tersebut? Apakah ia termasuk bangsa yang ramah, bersahabat, santun, damai, dan menyenangkan? Ataukah sebaliknya, ia termasuk bangsa yang senang menebar bibit-bibit kebencian, menebar permusuhan, suka menyakiti, bersikap arogan, dan suka menang sendiri.
Bahasa memang memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional. Begitu pentingnya bahasa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu suatu kebijakan yang berimplikasi pada pembinaan dan pembelajaran di lembaga pendidikan. Salah satu bentuk pembinaan yang dianggap paling strategis adalah pembelajaran bahasa Indonesia, bahasa Sunda, bahasa Jawa, dan bahasa lainnya di sekolah. Dalam KTSP, bahasa Indonesia termasuk dalam kelompok mata pelajaran estetika. Kelompok ini juga merupakan salah satu penyangga dari kelompok agama dan akhlak mulia. Ruang lingkup akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral.
Kelompok mata pelajaran estetika sendiri bertujuan untuk meningkatkan sensitivitas, kemampuan mengekspresikan dan mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan itu mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehingga mampu menikmati dan mesyukuri hidup, maupun dalam kehidupan kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan kebersamaan yang harmonis.
Tujuan rumpun estetika tersebut dijabarkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang bertujuan agar peserta didiknya memiliki kemampuan antara lain (1) berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis dan (2) menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial. Tujuan tersebut dilakukan dalam aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
Pelajaran bahasa Indonesia telah eksis sejak dulu dari tingkat SD sampai PT. Di SD pelajaran ini mulai diberikan di kelas IV-VI, alokasinya 5 jam per minggu atau 15,63% dari total alokasi jam pembelajaran, SMP 4 jam atau 12,5%, di SMA kelas XI 4 jam atau 10,53%, kelas XI dan XII 4 jam atau 7,69%. Alokasi itu diperkuat lagi dengan pelajaran bahasa Sunda sebanyak 2 jam setiap minggunya. Di PT, bahasa Indonesia termasuk dalam MKDU, minimal 2 SKS. Ini menunjukkan bahwa kedudukannya dalam kurikulum pendidikan formal begitu utama dan strategis.
Ironisnya, eksistensi dan besarnya alokasi jam pelajaran bahasa Indonesia di sekolah saat ini belum memberikan kontribusi dan korelasi yang berarti terhadap tumbuhnya kesadaran penggunaan bahasa secara verbal yang lemah lembut, santun, sopan, sistematis, teratur, mudah dipahami, dan lugas. Pelajaran tersebut harus diakui belum mampu membangun nilai-nilai estetika dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mungkin salah satunya disebabkan pembelajarannya masih bersifat kurang komunikatif, dikotomis, artifisial, verbalistis, dan kognitif.
Kegagalan menanamkan pendidikan nilai melalui pembelajaran bahasa Indonesia ini tercermin pada perilaku berbahasa yang tidak mengindahkan nilai-nilai sopan santun. Kegagalan ini sedikit banyak telah memberi andil pada terjadinya tindak kekerasaan di masyarakat, perseteruan di tingkat elite, dan ikut memengaruhi terjadinya pelecehan terhadap nilai-nilai luhur yang dihormati bersama.
Menurut pakar bahasa, I. Pratama Baryadi dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, terdapat korelasi antara bahasa sebagai lambang yang memiliki fungsi utama sebagai alat komunikasi antarmanusia dengan kekerasan yang merupakan perilaku manusia yang hegemonik-destruktif.
Dua korelasi itu, pertama, bahwa bahasa dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan kekerasan sehingga menimbulkan salah satu jenis kekerasan yang disebut kekerasan verbal. Wujudnya terlihat dalam tindak tutur seperti memaki, membentuk, mengancam, menjelek-jelekkan, mengusir, memfitnah, menyudutkan, mendiskriminasikan, mengintimidasi, menakut-nakuti, memaksa, menghasut, membuat orang malu, menghina, dan lain sebagainya.
Kedua, bahasa yang tidak digunakan sesuai dengan fungsinya akan menjadi pemicu timbulnya kekerasan. Fungsi hakiki bahasa adalah alat komunikasi, alat bekerja sama, dan pewujud nilai-nilai persatuan bagi para pemakainya. Dalam teori percakapan, ada dua prinsip penggunaan bahasa yang wajar-alamiah, yaitu prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan.
Prinsip kerja sama menganjurkan agar komunikasi verbal dilakukan dengan bentuk yang lugas, jelas, isinya benar, dan relevan dengan konteksnya. Prinsip kesopanan menganjurkan agar komunikasi verbal dilakukan dengan sopan, yaitu bijaksana, mudah diterima, murah hati, rendah hati, cocok, dan simpatik.
Sejalan dengan itu, dalam ajaran Islam ada yang disebut dengan dosa lisan. Dalam Q.S. Al Qalam [68]: 10-11), "Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi menghina. Yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah". Larangan itu dipertegas lagi oleh dua hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Hadis pertama berbunyi, "Orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaknya berkata baik. Atau, (jika tidak bisa) lebih baik diam". Bunyi hadis kedua, "Orang yang disebut Muslim adalah orang yang bisa menjaga tangannya dan lisannya (dari menyakiti Muslim lain)". Begitulah ajaran agama mengatur etika dan anjuran berbahasa dengan baik dalam lehidupan.
Anjuran tersebut juga relevan dengan pepatah lama yang menyebutkan lidah atau lisan bagaikan pedang. Jika lisan telah mengibaskan ketajaman mata pedangnya di hati, rasa sakit dan lukanya akan berbekas untuk waktu yang lama. Penyimpangan (deviasi) prinsip-prinsip tersebut dapatlah memicu timbulnya kekerasan. Sebagai contoh, berbicara kasar, berbicara saja tanpa tindakan, berbicara bohong, berbicara dengan keras, tidak jelas, menyakitkan, menyinggung perasaan, merendahkan orang lain, dan tidak transparan.
Dalam praktik sehari-hari, perilaku berbahasa yang tidak mengindahkan nilai-nilai dan hakikat fungsi bahasa seperti itu semakin banyak ditemukan di masyarakat kita saat ini. Perilaku yang tidak terpuji ini ironisnya banyak dilakukan di alam reformasi. Apakah ini merupakan cerminan dari euforia demokrasi yang kebablasan. Entah apa. Perilaku berbahasa yang buruk itu dilakukan oleh semua lapisan: golongan bawah, golongan menengah, bahkan elite politik negeri ini. Sindir-menyindir, saling menghujat, provokasi, dan saling mengancam tidak asing terdengar keluar dari mulut para pemimpin.
"Mulutmu harimaumu", itu kata pepatah yang masih tetap relevan. Akibat dari penggunaan bahasa yang tidak terpuji itu kini masyarakat dan elite politik mudah sekali bermusuhan, melakukan tindak anarkis, merusak, dan lain sebagainya.Pendek kata, negeri ini sangat rentan dan rawan dengan konflik-konflik, friksi-friksi, perkelahian, pembunuhan, dan perusakan yang tak berkesudahan.
Dalam rangka reformasi pendidikan, selayaknyalah dipikirkan juga bagaimana sekolah dapat berperan agar anak didik khususnya, dan masyarakat pada umumnya tidak berbahasa untuk melakukan tindakan kekerasan dan tidak memicu kekerasan. Hendaknya anak didik berbahasa Indonesia yang sopan dan beradab, yang berfungsi memelihara serta membangun kerja sama kerukunan.
Beberapa hal yang dapat dipikirkan yaitu pertama, sekolah hendaknya memberi penghargaan yang wajar pada bahasa dan budaya. Kedua, pelajaran bahasa menggunakan pendekatan komunikatif tetap menekankan perlunya kesopanan berbahasa. Ketiga, semua warga sekolah dikondisikan dan disiplinkan untuk berbahasa dengan sopan.
Tentang berhasa yang sopan ini, sangat selaras dengan sabda Rasul yang mulia, "Tidaklah seharusnya orang menyuruh yang makruf da mencegah yang mungkar, kecuali memiliki tiga sifat, yakni lemah lembut dalam menyuruh dan melarang (mencegah), mengerti apa yang harus dilarang, dan adil terhadap apa yang harus dilarang".
Berdemonstrasi menyampaikan tuntutan dan aspirasinya adalah hak setiap orang yang mesti diperjuangkan. Namun penyampaian itu hendaknya disampaikan secara beretika. Aksi-aksi jangan seakan membenarkan atau melegalkan kata-kata sekasar apa pun dilontarkan di depan publik. Stoplah sudah kata-kata yang mengumbar bibit-bibit kebencian, membakar amarah, memancing emosi, mendorong anarkisme, dan menebar provokasi. Hentikan kata-kata yang hanya memancing kericuhan dan bentrokan fisik dengan aparat atau pihak lain. Demikian juga dengan para pemimpin bangsa, hendaknya menjunjung etika berbahasa. Perilaku berbahasa pemimpin bangsa dan elite politik yang kerap menimbulkan perseteruan telah berpengaruh besar pada kehidupan masyarakat di level akar rumput. Semua itu hanya menghabiskan energi dan membuat rakyat semakin menderita.
Momentum Idulfitri yang melambangkan kesucian hati dan peringatan Bulan Bahasa yang dilakukan tiap bulan Oktober ini seyogianya dapat menggugah kesadaran berbahasa dengan sopan dan santun. Bagi dunia pendidikan, pembelajaran bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa lainnya diharapkan mampu menginternalisaikan dan mengartikulasikan nilai-nilai etika berbahasa dalam perilaku verbal kita sehari-hari. Pusat Bahasa yang berotoritas membina dan mengembangkan bahasa hendaknya lebih berperan nyata lagi dalam mendorong masyarakat menggunakan bahasa Indonesia yang santun. Lembaga ini jangan hanya berkutat pada riset-riset dan pembakuan bahasa yang hanya menjadi "menara gading" bagi masyarakatnya.
Karena bahasa mencerminkan pencitraan pribadi, jati diri bangsa, dan keselamatan hidupnya, sejatinya pemimpin bangsa, elite politik, masyarakat, dan setiap diri berupaya menggunakan bahasa dengan sopan, santun, dan beradab. Wallahu a'lam.







BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Guru dan Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak, karena merekalah anak mula-mula menerima pendidikan-pendidikan serta anak mampu menghayati suasana kehidupan religius dalam kehidupan keluarga yang akan berpengaruh dalam perilakunya sehari-hari yang merupakan hasil dari bimbingan orang tuanya, agar menjadi anak yang berakhlak mulia, budi pekerti yang luhur yang berguna bagi dirinya demi masa depan keluarga agama, bangsa dan negara.

B. Saran
Hendaklah Guru dan orang tua selalu memberikan perhatian yang jenuh kepada anak-anak dalam membina akhlak bukan hanya menyuruh anak agar melakukan perbuatan yang baik tetapi hendaklah Guru dan orang tua selalu memberikan contoh yang baik bagi anak-anaknya
Serta Guru dan orang tua tampil selalu tauladan baik, membiasakan berbagai bacaan dan menanamkan kebiasaan memerintah melakukan kegiatan yang baik, menghukum anak apabila bersalah, memuji apabila berbuat baik, menciptakan suasana yang hangat yang religius (membaca Al-Qur'an, sholat berjamaah, memasang kaligrafi, Do'a-Do'a dan ayat-ayat Al-Qur'an), menghapal, menumbuhkan gairah bertanya dan berdialog.



DAFTAR PUSTAKA


1. (Muhammad Nur, Abdul Hafizh 1988:9):
2. Alb V Dian Sano, 2005. 24 jam menguasai HTML, JSP, dan MySQL Yogyakarta :
Penerbit Andi
3. Ali Akbar, ST. 2005. Membuatpresentasidengan PowerPoint 2003 Bandung :
M2S
4. Andi Setiawan, S.Kom, 2006. Mudah Tepat Singkat Pemrograman HTML
Bandung : CV. Yrama Widya
5. Erislan. 2005. Notifikasi e-mail melalui SMS
Yogyakarta : Penerbit Andi
6. Firrar Utdirartatmo. 2005. Praktis dan Mudah Administrasi MySQL berbasis GUI
Yogyakarta : Penerbit Andi
7. http:// visitbanyumas.com/bahasa/archives/238

8. http://visitbanyumas.com/bahasa/archives/248

Tidak ada komentar:

Posting Komentar