ANALISIS USAHA PENGGEMUKAN SAPI BALI DAN PENGOLAHAN HASIL LIMBAH SEBAGAI PUPUK ORGANIK PADAT DAN CAIR
ABSTRAK
Sapi Bali sampai saat ini masih merupakan komoditi unggulan bidang peternakan di Bali. Walaupun sebagai komoditi unggulan, sapi Bali memiliki banyak kelemahan yaitu pertumbuhan yang relatif lambat. Usaha penggemukan sapi Bali yang dilaksanakan pada lahan kering dicirikan dengan ketersediaan pakan ternak yang terbatas. Adanya inovasi teknologi penggemukan sapi Bali pada lahan kering memungkinkan untuk lebih meningkatkan pertambahan bobot sapi yang akhirnya akan menambah pendapatan bersih yang diterima petani. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2007 di Kelompok Tani Tunas Harapan Kita Desa Sanggalangit Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng sebagai salah satu wilayah Prima Tani yang telah mengembangkan usaha penggemukan sapi dengan kandang koloni berikut pengolahan limbah sebagai pupuk organik padat dan cair (Bio Urine). Dalam penerapan inovasi teknologi tersebut tentunya seiring dengan peningkatan biaya yang diperlukan. Oleh karena itu dipandang perlu untuk mengetahui pendapatan bersih yang diterima petani setelah penerapan inovasi teknologi tersebut. Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, penentuan sampel secara purposive dan analisis data dengan analisis parsial usahatani selama satu kali proses produksi (6 bulan) menggunakan pendekatan dengan rumus perhitungan: Pd = TR – TC, dilanjutkan dengan R/C ratio. Hasil penelitian menunjukkan usaha penggemukan sapi diperoleh pendapatan bersih Rp. 7.831.675,- , dari pupuk organik cair (bio urine) sebanyak Rp. 2,334,138,- serta hasil pupuk padat sebesar Rp. 1,180,313,-. Jadi dalam periode 6 bulan usahatani penggemukan sapi Bali dan pemanfaatan limbah ternak sebagai pupuk organik padat maupun cair, memberikan pendapatan bersih kepada kelompok tani sebesar Rp. 11.346.125,- dengan R/C sebesar 1,2 yang berindikasi bahwa usaha tersebut menguntungkan untuk dilakukan.
PENDAHULUAN
Keberadaan kegiatan Prima Tani yang merupakan kegiatan multi years memungkinkan melakukan kegiatan pengembangan inovasi teknis maupun kelembagaan secara bertahap. Salah satu kegiatan dalam mengoptimalkan sumberdaya lokal adalah pengembangan ternak sapi, dimana terdapat pemanfaatan limbah ternak sebagai pupuk organik dalam upaya pemulihan hara tanah.
Bali pada tahun 1999 memiliki populasi sapi sebanyak 526.013 ekor (Anonimous, 2000) dan telah menjadi 576.586 ekor atau meningkat 9,6% di tahun 2004 atau dengan kepadatan 102,36 ekor/km². Dengan kepadatan tersebut, menempatkan Bali sebagai daerah dengan populasi ternak sapi terpadat di Indonesia (Anonimous, 2004). Sapi Bali sampai saat ini masih merupakan komoditi unggulan bidang peternakan di Bali. Walaupun sebagai komoditi unggulan, sapi Bali memiliki banyak kelemahan yaitu pertumbuhan yang relatif lambat. Selain kelemahan tersebut sapi Bali memiliki kelebihan yang luar biasa dibandingkan dengan jenis sapi lainnya yaitu daya adaptasinya sangat baik dengan lingkungan pemeliharaanya (Darma, 1997).
Keadaan Umum lahan kering untuk daerah peternakan dicirikan dengan ketersediaan pakan ternak yang terbatas. Petani pada daerah ini pada umumnya petani kecil dengan tingkat perekonomian yang lemah dan tingkat pendidikan yang rendah sehingga sangat berpengaruh terhadap cara berusahatani ataupun beternak (Suprapto, dkk. 1999). Keberhasilan dan keberlanjutan dari usaha peternakan skala rumah tangga untuk lahan kering akan sangat tergantung dari ketersediaan pakan guna pemenuhan kebutuhan ternak itu sendiri. Menurut Gunawan, dkk (1996), usaha penggemukan sapi potong memerlukan pakan dengan kwantitas yang cukup dengan kualitas yang baik secara kontinyu. Pemberian konsentrat sebagai pakan penguat biasanya dilakukan terbatas oleh petani yang memiliki tingkat kemampuan ekonomi yang baik (Kusnadi, dkk. 1993). Akibatnya secara umum produktivitas sapi potong yang dipelihara petani di pedesaan menjadi rendah.
Adanya inovasi teknologi tentunya akan merubah struktur biaya dalam proses produksi untuk menghasilkan manfaat yang diinginkan, sehingga perlu dilihat keuntungan ataupun manfaat dari penerapan inovasi teknologi terutama dalam kegiatan peternakan penggemukan sapi yang dilakukan di daerah pengkajian.
1.2 Tujuan dan Sasaran Makalah
Tujuan
Memahami peranan pertanian organik dalam pembangunan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture development).
Sasaran
Pengenalan sistem pertanian organik dan pertanian berkelanjutan
METODOLOGI PENELITIAN
Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Penelitian dilaksanakan di wilayah kajian Prima Tani Lahan Kering Dataran Rendah Iklim Kering Kabupaten Buleleng, Kecamatan Gerokgak, Desa Sanggalangit yang ditentukan secara purposive pada Kelompok Tunas Harapan Kita untuk satu kandang koloni dengan jumlah sapi penggemukan sebanyak 10 ekor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2007. Data dikumpulkan melalui teknik wawancara dengan alat bantu kuisioner. Analisis usahatani dilakukan secara parsial selama satu kali prose produksi (6 bulan) menggunakan pendekatan dengan rumus perhitungan :
Pd = TR - TC
TC = TFC + TVC
Keterangan : Pd = Pendapatan bersih ; TR = Total penerimaan ; TC = Total biaya yang terdiri atas biaya tetap dan biaya tidak tetap ; Py = Harga per satuan input
Selanjutnya perhitungan R/C ratio, merupakan perbandingan antara penerimaan dan biaya yang dikeluarkan (Soekartawi, 2002).
PEMBAHASAN
1. Penggemukan Sapi Sebagai Pupuk Organik
Di Desa Sanggalangit sejak tahun 2003 telah berkembang kelompok penggemukan sapi. Penggemukan biasanya dilakukan selama 8 bulan dengan pakan tambahan berupa dedak padi dengan pakan dasar berupa hijauan yang ketersediannya sangat tergantung musim. Permasalahan utama yang dihadapi dalam usaha penggemukan sapi adalah kesulitan pakan di musim kering. Untuk itu perlu kiranya dalam usaha penggemukan sapi Bali direncanakan dengan melihat kalender musim hasil PRA (Participatory Rural Appraisal) serta data curah hujan yang telah dilaksanakan sebelumnya dalam hubungannya dengan ketersediaan pakan.
Jenis pakan yang tersedia di kelompok ini sangat bervariasi tergantung musim, dimana pada bulan-bulan basah produksinya berlimpah sehingga petani dapat memilih jenis pakan yang dikehendaki. Semua jenis tanaman pakan ternak produksinya meningkat seiring dengan meningkatnya curah hujan dan menurun saat curah hujan menurun (Gambar 1). Petani merasakan pakan sangat melimpah saat MH dan paceklik pakan saat MK.
Sumber : Sri Agung 2006
Gambar 1. Data curah hujan di Kecamatan Gerokgak 1996-2006
Pakan yang umum diberikan sapi-sapi di kelompok ini antara lain rumput lapangan, gamal (Glirisidia sp), lamtoro, limbah jagung, gamelina, sonokeling, intaran (mimba), rumput kering di bukit, jerami padi (membeli dari daerah lain), daun kelapa, daun asem, waru, batang pisang, daun pisang kering dan lainnya. Secara umum di musim kering yang berlangsung antara bulan Juni sampai Nopember peternak sudah mulai kesulitan mencari pakan ternak. Pada saat MK tersebut waktu yang mereka habiskan untuk mencari pakan cukup lama karena jarak mencari pakan cukup jauh (sekitar 3-4 km). Gamelina, Sonokeling, dan Mimba (Intaran) merupakan tanaman penghijauan di bukit yang dijadikan sumber hijauan di saat MK. Selain itu, pohon mangga, asem dan tanaman lain pun tidak terlepas dari pemangkasan untuk pakan di musim kering. Lebih parah lagi ada beberapa petani mengumpulkan daun bambu kering untuk pakan.
Tabel 1. Keterkaitan Musim dengan Ketersediaan Pakan di Kec. Gerokgak, Kab. Buleleng Bali, 2004.
Parameter Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Musim Hujan
Pakan sulit
Sumber : Yasa, dkk. 2005
Menurut Yasa, dkk (2006), sapi-sapi di Desa Sanggalangit mengalami lima bulan krisis pakan yaitu dari bulan Juli sampai Nopember (Tabel 1). Pada bulan-bulan tersebut, sapi-sapi diberikan pakan seadanya dengan kualitas (kandungan gizi rendah) dan kwantitas terbatas. Pakan yang diberikan hampir 70% berupa pakan kering (hay) seperti limbah jagung, rumput gunung, jerami padi yang dibeli di desa lain, daun pisang kering dan pada puncak krisis ternak diberikan daun bambu. Untuk pakan segar, hijauan yang diberikan berupa daun gamal, lamtoro, gamelina, sonokeling, intaran (mimba), daun kelapa, daun asam, waru, batang pisang bahkan daun mangga juga diberikan
Melihat kondisi tersebut (Tabel 1) masa yang tepat untuk pengemukan sapi Bali adalah mulai dilakukan pada bulan Desember sampai dengan bulan Juni, sehingga dengan terjaminnya kwalitas maupun kuantitas pakan yang diberikan pada masa penggemukan diharapkan memberikan pertumbuhan optimal serta mempercepat periode produksi. Hal ini akan menjadi lebih efisien baik dari tenaga ataupun biaya lain dibutuhkan dalam proses produksi. Yasa, dkk (2006) menyatakan bahwa pertambahan bobot sapi pada bulan Maret sampai Juni, selanjutnya laju pertumbuhannya mulai menurun dari bulan Juli sampai Agustus. Kondisi ini seiring dengan menurunnya ketersediaan pakan khususnya untuk hijauan serta kurang baiknya kondisi lingkungan dengan rendahnya curah hujan pada saat itu. Memperhatikan kondisi seperti itu, penggemukan sebaiknya diawali pada bulan Desember selanjutnya dipasarkan pada bulan Mei-Juni tahun berikutnya. Strategi lain yang dapat dilakukan berupa peningkatan 1) volume pemberian pakan penguat, namun dengan perhitungan secara ekonomis terlebih dahulu; 2) memperbesar bobot badan awal sapi yang akan digemukkan, yakni paling tidak 300 kg supaya waktu pemeliharaan yang dibutuhkan untuk mencapai bobot potong menjadi lebih singkat (5 bulan); dan 3) meningkatkan sumber pakan hijauan bermutu melalui penananam hijauan pakan bermutu tahan kering seperti lamtoro yang telah terbukti berproduksi sepanjang tahun.
Dalam mengoptimalkan manfaat kegiatan penggemukan sapi Bali guna memberi nilai tambah dari investasi yang ditanamkan, berbagai produk dapat dihasilkan antara lain limbah sapi yang diolah sebagai pupuk organik padat dan cair (bio urine). Namun dalam proses produksi ikutan tersebut, perlu infrastruktur pendukung berupa kandang koloni untuk menunjang Instalasi Produksi Pupuk Organik Cair. Kandang koloni ini khusus dimanfaatkan untuk sapi penggemukan dan menunjang Instalasi Produksi Pupuk Organik padat dan cair. Kandang ini dibangun atas kerjasama BPTP Bali, Bappeda Provinsi Bali dan Kelompok Tani Tunas harapan Kita dengan biaya Rp. 25.166.500,-
Petani di Desa Sanggalangit secara umum berpendapatan rendah dengan kepemilikan lahan yang sempit (sekitar 0,5 Ha). Pendapatan yang rendah ini akan berdampak terhadap daya beli saprodi. Di lain pihak wilayah di desa ini merupakan lahan kritis yang butuh pupuk dan pupuk kimia harganya terus mengalami peningkatan. Untuk memecahkan masalah ini, maka diintroduksikan teknologi pengolahan kotoran ternak untuk menghasilkan pupuk organik padat dan cair.
Instalasi pupuk cair serta instalasi pengolahan pupuk padat sebagai pelengkap kandang koloni, dibangun tidak terlepas dari swadaya petani dengan menghabiskan anggaran senilai Rp. 7.611.000,- per unit. Menurut Yasa, dkk (2006) berbagai kelebihan diperoleh dari pupuk organik antara lain : 1) karena bentuknya cair, aplikasinya lebih mudah, karena bisa dilakukan dengan penyemprotan, dan pada tanaman pohon tidak harus membuat lubang pada tanah; 2) bahan baku pupuk organik bisa bertambah tidak hanya dari kotoran (faeces) tapi juga dari kencing ternak; dan 3) volume penggunaanya lebih hemat dibandingkan pupuk kompos. Untuk tanaman padi, jika pupuk kompos (padat) perhektar memerlukan 2,5 - 5 ton, maka dengan pupuk cair hanya memerlukan 1,2 ton permusim.
Satu ekor sapi memproduksi rata-rata 5 liter urin setiap hari, sehingga instalasi bio urin yang berisi 10 ekor sapi menghasilkan pupuk organik cair sebanyak 500 liter per sekali proses (satu kali proses butuh waktu 10 hari). Dampak aplikasi pupuk organik ini cukup menggembirakan pada tanaman bawang merah. Pada proses produksi pupuk organik cair ini, menggunakan fermentor RB dan Azba produksi BPTP Bali
Demikian halnya dengan kotoran sapi yang semakin melimpah seiring dengan meningkatnya populasi sapi di desa ini. Untuk menjadi pupuk organik siap pakai secara alami membutuhkan waktu sekitar 2 bulan. Untuk mempercepat proses pengomposan diperlukan fermentor dan tempat fermentasi seperti untuk menghindarkan kompos yang dihasilkan terkena air hujan dan terkena sinar matahari langsung.
Penggemukan di daerah pengkajian dilaksanakan selama 6 bulan yaitu dari bulan Januari sampai akhir Juni 2006, sapi yang diberikan pakan dasar hijauan segar dan kering secara ad libitum dengan tambahan pakan penguat berupa dedak padi sebanyak 2 kg/ekor; di tambah feed aditif berupa probiotik Bio Cas 5 ml per ekor per hari. Probiotik Bio-Cas merupakan cairan berwarna coklat hasil pengembangan BPTP Bali. Mikroorganisme ini dilaporkan mampu menguraikan bahan organik kompleks dalam pakan menjadi lebih sederhana sehingga lebih mudah diserap oleh saluran pencernaan. Sapi yang digemukkan berumur antara 1,5 sampai 2 tahun dengan bobot awal rata-rata 254,7 kg. Sejalan dengan periode penggemukan yang sesuai di daerah pengkajian, bobot akhir sapi penggemukan selama 6 bulan pemeliharaan mencapai rata-rata 364,5 kg dengan kenaikan bobot per hari mencapai 0,61 kg. Hal ini sudah dapat meningkatkan bobot badan sapi untuk pemeliharaan di lahan marginal yang menurut Saka (1990), dengan pola pemeliharaan secara tradisional, tambahan bobot badan sapi Bali rata-rata 280 gram/ekor/hari. Keberhasilan peningkatan bobot badan tersebut disertai pula dengan peningkatan biaya diperlukan dalam proses produksi, sehingga lebih lanjut analisis usahatani penggemukan sapi Bali dengan kandang koloni bersama dengan pemanfaatan limbahnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Analisis Usahatani Penggemukan Sapi Bali Beserta Produksi Pupuk Organik Cair dan Padat di Kelompok Tunas Harapan Kita Sanggalangit, tahun 2006
No. Uraian Jumla Satuan Harga (Rp) Jumlah Biaya (Rp)
A Biaya
1. Sarana Produksi
- Sapi Penggemukan 10 Ekor 4.200.000 42.000.000
- Obat-obatan :
a. Mata 10 Ekor 7.500 75.000
b. Kulit 10 Ekor 20.000 200.000
c. Biocas (1 Ltr/ekor) 10 Kor 20.000 200.000
d. Dedak (2 kg/ekor/hari) 3650 Ekor 1.200 4.380.000
- Kandang koloni 1 Unit 25.166.500 1.258.325
2. Tenaga Kerja
- Mencari Pakan/HMT dan membersihkan kandang 182.5 Hok 23.000 4.197.500
3. Pembuatan Bio-rine
- Penyusutan Alat (usia ekonomi 10 th) 1 Unit 7.611.000 380.550
- Bahan lain :
a. Asetobacter (1 ltr utk 400 ltr urine) 182.5 Liter 25.000 570.313
b. Rummino Bacillus (0,5 ltr utk 400 ltr) 11.41 Liter 20.000 228.125
- Tenaga kerja 22.81 Hok 23.000 1.049.375
4. Fermentasi pupuk kandang
- Fermentor Rummino Bacillus (1 Ltr RB utk 1500 kg feces) 6 Kg 20.000 120.000
- Tenaga kerja 22.81 Hok 23.000 524.688
B Produksi/penjualan
1. Sapi Jantan 10 Ekor 6.014.250 60.142.500
- Total Biaya 52.310.825
- Pendapatan Bersih Ternak Sapi 7.831.675
2. Bio-urine 9125 Liter 500 4.562.500
(5 ltr/hari/ekor)
- Total Biaya 2.228.363
- Pendapatan Bersih Bio-urine 2.334.138
3. Pupuk kandang 9125 Kg 200 1.825.000
(5 Kg/hari/ekor)
- Total Biaya 644.688
- Pendapatan Bersih Pupuk Kandang 1.180.313
C Total Pendapatan Bersih 11.346.125
D R/C 1,2
Sumber : Data primer diolah
Biaya-biaya yang diperhitungkan dari analisis ini antara lain : 1) biaya pembuatan kandang koloni serta instalasi pendukung pembuatan pupuk organik padat dan cair (infrastruktur); 2) dan biaya dalam proses produksi meliputi penggemukan sapi, pembuatan pupuk padat serta pembuatan pupuk cair termasuk tenaga kerja yang dibutuhkan. Untuk biaya infrastruktur dihitung rata-rata penyusutan selama usia ekonomis. Tenaga kerja dalam keluarga diperhitungkan sesuai dengan upah yang berlaku termasuk konsumsi dan snack diberikan selama bekerja. Harga-harga satuan juga berdasarkan yang berlaku didaerah pengkajian, seperti harga penjualan pupuk padat dan pupuk cair yang dihasilkan.
Dari Tabel 2 terlihat penggemukan untuk 10 ekor sapi diperoleh pendapatan bersih Rp. 7.831.675,-. Dengan produksi urin sebanyak 5 liter per ekor per hari dan pupuk padat sebanyak 5 kg per ekor per hari diperoleh pendapatan bersih pupuk organik cair (bio urine) sebanyak Rp. 2,334,138,- serta hasil pupuk padat sebesar Rp. 1,180,313,-. Jadi dalam periode 6 bulan usahatani penggemukan sapi Bali dan pemanfaatan limbah ternak sebagai pupuk organik padat maupun cair, memberikan pendapatan bersih kepada kelompok tani sebesar Rp. 11.346.125,- dengan R/C sebesar 1,2 yang berindikasi bahwa usaha tersebut cukup menguntungkan dilakukan.
2.Pengelolaan Pertanian Organik
2.1 Prinsip-Prinsip Pertanian Organik
Dasar konsepsi pengelolaan pertanian organik adalah bahan organik, biologis dan ekologi pertanian. Dengan konsep ini, maka yang dimaksud dengan pertanian organik adalah pertanian yang bebas bahan kimia.
Prinsip-prinsip pertanian organik sebagaimana ditetapkan oleh International Federation of Organic Agriculture Movement (Organic Farming, 1990) adalah sebagai berikut:
a. menghasilkan pangan dengan kualitas gizi yang tinggi dan dalam jumlah yang mencukupi.
b. menerapkan sistem alami dan tanpa mendominasi alam.
c. mengaktifkan dan meningkatkan daur biologis di dalam sistem pertanian, melibatkan mikroorganisme, tumbuh-tumbuhan dan hewan.
d. meningkatkan dan memelihara kesuburan tanah.
e. menggunakan sumber-sumber yang dapat diperbaharui dalam sistem pertanian yang terorganisir secara lokal.
f. mengembangkan suatu sistem tertutup dengan memperhatikan elemen-elemen organik dan bahan nutrisi.
g. memperlakukan ternak secara alami.
h. mengurangi dan mencegah semua bentuk polusi yang mungkin dihasilkan dari pertanian.
i. memelihara keragaman genetik di dalam dan di sekeliling sistem pertanian, termasuk perlindungan tanaman dan habitat air.
j. memberikan pendapatan yang memadai dan memuaskan petani.
k. mempertimbangkan pengaruh sosial dan ekologis yang lebih luas dari sistem pertanian.
2.2 Perlakuan Pertanian Organik
Pertanian organik adalah suatu bentuk pertanian yang tidak menggunakan input sintesis seperti pestisida dan pupuk sehingga dapat menjaga keberlanjutan sistem dalam waktu yang tidak terhingga. Namun demikian, pertanian organik bukan sekedar pertanian tanpa bahan kimia. Pertanian organik menggunakan teknik-teknik seperti rotasi tanaman, jarak tanam yang mencukupi antar tanaman, penggabungan bahan organik ke dalam tanah dan penggunaan pengendalian biologi untuk menaikkan pertumbuhan tanaman yang optimum dan meminimumkan masalah hama. Pemakaian pestisida organik dipertimbangkan sebagai upaya terakhir dan digunakan dengan hemat.
Keberhasilan pertanian organik tergantung pada program pengelolaan penggunaan input-input secara intensif dalam rangka menghasilkan produktivitas tanaman yang optimum. Pelaksanaan pengelolaan pertanian organik terdiri atas:
a. penambahan bahan organik terdekomposisi.
b. rotasi tanaman untuk meningkatkan kesuburan dan mengurangi serangan hama dan penyakit.
c. memakai pupuk hijau dan tanaman penutup untuk memperbaiki kesuburan tanah, meningkatkan populasi organisme yang bermanfaat dan mengurangi erosi.
d. pengurangan pengolahan tanah (minimum tillage) untuk memperbaiki struktur tanah dan mengurangi erosi.
e. memakai tanaman penangkal (trap crops), jasad pengendali biologi dan teknik manipulasi habitat lainnya (seperti tumpang sari atau penggunaan pembatas) untuk mempertinggi mekanisme pengendalian biologi alami pada pertanian.
f. pembuatan zona penyangga dan pembatas untuk menandai area penghasil organik dan membantu melindungi area tersebut dari bahan-bahan terlarang. Zona penyanga ditanami dengan tanaman pemecah angin (wind breaker) atau tanaman yang bukan untuk dipanen.
Pertanian organik secara intensif pada tanaman hortikultura di negara-negara beriklim tropis agak kurang berkembang dibandingkan dengan negara-negara beriklim sedang (temperate) (Radovic and Valenzuela, 1999). Namun demikian dengan mempelajari perkembangan pertanian organik di daerah beriklim sedang tersebut dapat memperkaya pengetahuan yang ada pada daerah beriklim tropis untuk mengembangkan pertanian organik atau alami yang beradaptasi pada kondisi lingkungan lokal .
2.3 Pengaruh Terhadap Sifat Fisik Tanah
Hasil penelitian di Taiwan memperlihatkan bahwa lahan yang digenangi dalam rangka persiapan penanaman padi yang dicampur dengan pupuk organik lebih homogen dari pada lahan kering. Kerapatan padatan, total porositas dan stabilitas agregat permukaan tanah dapat diperbaiki dengan penerapan pertanian organik. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingginya tingkat bahan organik tanah pada pertanian organik. Yamada (1988) melaporkan bahwa dengan pemakaian kotoran sapi dalam jangka panjang, maka porositas tanah cenderung meningkat dan kerapatan padatan menurun dibandingkan dengan pemakaian pupuk kimia yang menyebabkan peningkatan kepadatan permukaan tanah.
2.4 Pengaruh Terhadap Sifat Kimia Tanah
Secara umum, kandungan bahan organik konsisten dengan jumlah pupuk organik yang ditambahkan. Total kandungan Nitrogen pada tanah dan kandungan ketersediaan Posfor dalam tanah pada lahan pertanian organik lebih tinggi dari pada lahan pertanian konvensional.
Percobaan Lin et al. (1973), Sommerfeldt et al. (1988), dan Reganold (1989) menyimpulkan bahwa dengan pemakaian pupuk organik pada lahan tanaman padi, menghasilkan kandungan bahan organik dan Nitrogen lebih tinggi dibanding dengan pemakaian pupuk kimia. Dalam percobaan Lin et al. (1973) ditemukan bahwa tingkat Mg, Ca, dan K yang dapat dipertukarkan pada perlakuan pupuk kandang dan pupuk hijau lebih tinggi dari pada hanya menggunakan pupuk kimia saja. Reganold (1989) menyatakan bahwa dalam jangka panjang pertanian organik dapat meningkatkan ketersediaan P, K, dan Ca dibandingkan dengan pertanian konvensional.
2.5 Pengaruh Terhadap Populasi Mikroba Tanah
Hampir semua mikroflora tanah adalah heterotrop yaitu menggunakan senyawa organik yang tersedia untuk memperoleh karbon dan enerji yang akan dipergunakan untuk kelanjutan metabolisme, pertumbuhan dan reproduksi. Perubahan aktivitas mikrobial tanah sering dihubungkan dengan perubahan input karbon ke dalam tanah sebagai hasil aplikasi pupuk kandang atau sisa tanaman. Fraser et al. (1988) menyimpulkan bahwa meningkatnya aktivitas mikrobial paralel dengan peningkatan kandungan karbon organik tanah, nitrogen dan pengisian pori-pori air.
Penerapan pertanian organik yang meningkatkan masukan pupuk kandang atau kompos termasuk polong-polongan (legume) dengan rotasi yang teratur dapat meningkatkan populasi mikroba dan aktivitas-aktivitas metabolisme, pertumbuhan dan reproduksi mikroba tanah.
KESIMPULAN
Dari hasil kajian dapat disimpulkan :
1. Inovasi teknologi penggemukan sapi Bali dengan kandang koloni dapat meningkatkan bobot sapi Bali yang sekaligus memberi nilai tambah dengan memanfaatkan limbah ternak tersebut sebagai pupuk organik padat maupun cair.
2. Usaha penggemukan sapi Bali dengan kandang koloni bersama dengan pemanfaatan limbah, cukup menguntungkan dilaksanakan dengan memberikan kontribusi pendapatan bersih sebesar Rp. 11.346.125,- dengan R/C sebesar 1,2 sehingga cukup layak untuk dilanjutkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2000. Informasi Data Peternakan Propinsi Bali Tahun 1999. Dinas Peternakan Propinsi Bali. Denpasar
Anonimus. 2004. Statistik Peternakan di Provinsi Bali Tahun 2004. Dinas Peternakan Provinsi Bali, Denpasar
Dharma, D.M.N dan A.A.G. Putra. 1997. Penyidikan Penyakit Hewan. CV. Bali Media Adhikarsa. Denpasar.
Gunawan., M.A. Yusron., Aryogi dan A. Rasyid. 1996. Peningkatan produktivitas pedet jantan sapi perah rakyat melalui penambahan pakan konsentrat. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid 2. Puslitbangnak. Bogor.
Kusnadi, U., M. Sabrani., Wiloeto., S. Iskandar., D. Sugandi., Subiharta.., Nandang dan Wartiningsih. (1993) Hasil Penelitian Usahatani Ternak Terpadu di Dataran Tinggi Jawa Tengah. Balai Penelitian Ternak, Bogor
Saka,I.K. 1990. Pemberian pakan dan Pemeliharaan Ternak kerja. Makalah dalam Pertemuan Aplikasi Paket Teknologi Sapi Potong. Balai Informasi Pertanian Bali. Denpasar 10-13 Desember 1990
Sukartawi. 2002. Analisis Usahatani. Penerbit Universitas Indonesia
Suprapto., I.K.Mahaputra., M.A. T. Sinaga., I.G.A. Sudaratmaja dan M.Sumartini. 1999. Laporan Akhir Pengkajian SUT Tanaman Pangan di Lahan Marginal. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Denpasar. Bali
CHATBOX
Quickpost this image to Myspace, Digg, Facebook, and others!
Get your own Chat Box! Go Large!
http://www.focus.co.id/images/yahoo-icon.png
01 Februari, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar